Ir. Soekarno1 (
ER,
EYD:
Sukarno,
nama lahir:
Koesno Sosrodihardjo) (lahir di
Surabaya[1][2][3],
Jawa Timur,
6 Juni 1901 – meninggal di
Jakarta,
21 Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah
Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode
1945–
1966.
[4] Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda.
[5] Soekarno adalah penggali
Pancasila karena ia yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai dasar negara
Indonesia itu dan ia sendiri yang menamainya
Pancasila.
[5] Ia adalah
Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal
17 Agustus 1945.
Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966
Supersemar yang kontroversial, yang isinya - berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan darat - menugaskan Letnan Jenderal
Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan.
[5] Supersemar menjadi dasar
Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan
Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen.
[5] Setelah pertanggung jawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967, Presiden Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS di tahun yang sama dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.
[5]
Nama
Ketika dilahirkan, Soekarno diberikan nama
Koesno Sosrodihardjo oleh orangtuanya.
[4] Namun karena ia sering sakit maka ketika berumur lima tahun namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya.
[4][6] Nama tersebut diambil dari seorang panglima perang dalam kisah
Bharata Yudha yaitu
Karna.
[4][6] Nama "Karna" menjadi "Karno" karena dalam
bahasa Jawa huruf "a" berubah menjadi "o" sedangkan awalan "su" memiliki arti "baik".
[6]
Di kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I., ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi
Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (
Belanda)
[rujukan?]. Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam
Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah
[rujukan?]. Sebutan akrab untuk Soekarno adalah
Bung Karno.
Achmed Soekarno
Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis
Achmed Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, "Siapa nama kecil Soekarno?" karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat di Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki
nama keluarga. Entah bagaimana, seseorang lalu menambahkan nama
Achmed di depan nama Soekarno. Hal ini pun terjadi di beberapa Wikipedia, seperti wikipedia
bahasa Denmark dan
bahasa Spanyol.
Sukarno menyebutkan bahwa nama Achmed di dapatnya ketika menunaikan ibadah haji.
[7] Dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama Sukarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara
Arab.
Kehidupan
Masa kecil dan remaja
Rumah masa kecil Bung Karno
Soekarno dilahirkan dengan seorang ayah yang bernama
Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya yaitu
Ida Ayu Nyoman Rai.
[4] Keduanya bertemu ketika Raden Soekemi yang merupakan seorang guru ditempatkan di
Sekolah Dasar Pribumi di
Singaraja,
Bali.
[4] Nyoman Rai merupakan keturunan bangsawan dari Bali dan beragama
Hindu sedangkan Raden Soekemi sendiri beragama
Islam.
[4] Mereka telah memiliki seorang putri yang bernama Sukarmini sebelum Soekarno lahir.
[8] Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya,
Raden Hardjokromo di
Tulung Agung,
Jawa Timur.
[4]
Ia bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke
Mojokerto, mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut.
[4] Di Mojokerto, ayahnya memasukan Soekarno ke
Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja.
[8] Kemudian pada
Juni 1911 Soekarno dipindahkan ke
Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di
Hoogere Burger School (HBS).
[4] Pada tahun
1915, Soekarno telah menyelesaikan pendidikannya di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS. di Surabaya, Jawa Timur.
[4] Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama
H.O.S. Tjokroaminoto.
[4] Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan kediamannya.
[4] Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin
Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu, seperti
Alimin,
Musso,
Dharsono,
Haji Agus Salim, dan
Abdul Muis.
[4] Soekarno kemudian aktif dalam kegiatan organisasi pemuda
Tri Koro Darmo yang dibentuk sebagai organisasi dari
Budi Utomo.
[4] Nama organisasi tersebut kemudian ia ganti menjadi
Jong Java (Pemuda Jawa) pada
1918.
[4] Selain itu, Soekarno juga aktif menulis di harian "Oetoesan Hindia" yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.
[8]
Tamat H.B.S. tahun
1920, Soekarno melanjutkan ke
Technische Hoge School (sekarang
ITB) di
Bandung dengan mengambil jurusan
teknik sipil dan tamat pada tahun
1925.
[9] Saat di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman
Haji Sanusi yang merupakan anggota
Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto.
[4] Di sana ia berinteraksi dengan
Ki Hajar Dewantara,
Tjipto Mangunkusumo dan
Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi
National Indische Partij.
Sebagai arsitek
Bung Karno adalah presiden pertama Indonesia yang juga dikenal sebagai
arsitek alumni dari
Technische Hoge School (sekarang
ITB) di
Bandung dengan mengambil jurusan
teknik sipil dan tamat pada tahun
1925.
[10] [11] [12]
Pekerjaan dan Karya di Bidang Arsitektur
- Ir. Soekarno pada tahun 1926 mendirikan biro insinyur bersama Ir. Anwari, banyak mengerjakan rancang bangun bangunan. Selanjutnya bersama Ir. Rooseno juga merancang dan membangun rumah-rumah dan jenis bangunan lainnya.
- Ketika dibuang di Bengkulu menyempatkan merancang beberapa rumah dan merenovasi total masjid jami' di tengah kota.[13]
Pengaruh Terhadap Karya Arsitektural Semasa Menjadi Presiden
Semasa menjabat sebagai presiden, ada beberapa karya arsitektur yang dipengaruhi atau dicetuskan oleh Soekarno. Juga perjalanan secara maraton dari bulan Mei sampai Juli di tahun
1956 ke negara-negara
Amerika Serikat,
Kanada,
Italia,
Jerman Barat dan
Swiss. Membuat cakrawala alam pikir Soekarno semakin kaya dalam menata Indonesia secara holistik dan menampilkannya sebagai negara baru merdeka
[14]. Soekarno membidik
Jakarta sebagai wajah muka Indonesia terkait beberapa kegiatan berskala internasional yang diadakan di kota itu, namun juga merencanakan sebuah kota sejak awal yang diharapkan sebagai pusat pemerintahan di masa datang. Beberapa karya dipengaruhi oleh Soekarno atau atas perintah dan koordinasinya dengan beberapa arsitek seperti
Frederich Silaban dan R.M. Soedarsono, dibantu beberapa arsitek yunior untuk visualisasi. Beberapa desain arsitektural juga dibuat melalui sayembara
[15]
Keluarga Soekarno
Kiprah politik
Masa pergerakan nasional
Pada tahun
1926, Soekarno mendirikan
Algemene Studie Club di Bandung yang merupakan hasil inspirasi dari
Indonesische Studie Club oleh Dr. Soetomo.
[4] Organisasi ini menjadi cikal bakal
Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun
1927.
[9] Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda pada bulan Desember
1929 dan dipenjara di
Penjara Banceuy, pada tahun
1930 dipindahkan ke
Sukamiskin dan memunculkan pledoinya yang fenomenal
Indonesia Menggugat (pledoi), hingga dibebaskan kembali pada tanggal
31 Desember 1931.
Pada bulan Juli
1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus
1933, dan diasingkan ke
Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru
Persatuan Islam bernama
Ahmad Hasan.
Pada tahun
1938 hingga tahun
1942 Soekarno diasingkan ke
Provinsi Bengkulu.
Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun
1942.
Masa penjajahan Jepang
Soekarno bersama Fatmawati dan Guntur
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk "
mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada
Gerakan 3A dengan tokohnya
Shimizu dan
Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.
Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan sekaligus memanfaatkan tokoh tokoh Indonesia seperti Soekarno,
Mohammad Hatta dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti
Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (
Putera),
BPUPKI dan
PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta,
Ki Hajar Dewantara,
K.H Mas Mansyur dan lain lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti
Sutan Syahrir dan
Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.
Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerjasama dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.
Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah merumuskan
Pancasila,
UUD 1945 dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke
Rengasdengklok.
Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang
Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar
Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh
Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.
Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan
Jepang membuat Soekarno dituduh oleh
Belanda bekerja sama dengan Jepang,antara lain dalam kasus
romusha.
Masa Perang Revolusi
Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
BPUPKI,Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Setelah menemui Marsekal Terauchi di
Dalat,
Vietnam, terjadilah
Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal
16 Agustus 1945; Soekarno dan
Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air
Peta Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain
Soekarni,
Wikana,
Singgih serta
Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah Soekarno menetapkan moment tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan bulan turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada
Nabi Muhammad SAW yakni
Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh
KNIP.Pada tanggal 19 September 1945 kewibawaan Soekarno dapat menyelesaikan tanpa pertumpahan darah peristiwa Lapangan Ikada dimana 200.000 rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang yang masih bersenjata lengkap.
Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir
Phillip Christison, Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara
de facto setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat provokasi yang dilancarkan pasukan
NICA (
Belanda) yang membonceng Sekutu. (dibawah Inggris) meledaklah
Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir Jendral
A.W.S Mallaby.
Karena banyak provokasi di
Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden dan pejabat tinggi negara lainnya.
Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku kepala pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/
single executive). Selama revolusi kemerdekaan,sistem pemerintahan berubah menjadi semi-presidensiil/
double executive. Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara dan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan. Hal itu terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No X, dan maklumat pemerintah bulan November 1945 tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap negara yang lebih demokratis.
Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan, kedudukan Presiden Soekarno tetap paling penting, terutama dalam menghadapi
Peristiwa Madiun 1948 serta saat Agresi Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda. Meskipun sudah ada
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua
Sjafruddin Prawiranegara, tetapi pada kenyataannya dunia internasional dan situasi dalam negeri tetap mengakui bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannya yang dapat menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda.
Masa kemerdekaan
Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah
Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr
Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.
Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan rakyat dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal sebagai "kabinet seumur jagung" membuat Presiden Soekarno kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya sebagai "penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa
17 Oktober 1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.
Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa
Asia-
Afrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan
Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan
imperialisme dan
kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang mengubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden
Josip Broz Tito (
Yugoslavia),
Gamal Abdel Nasser (
Mesir),
Mohammad Ali Jinnah (
Pakistan),
U Nu, (
Birma) dan
Jawaharlal Nehru (
India) ia mengadakan
Konferensi Asia Afrika yang membuahkan
Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia.
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah
Nikita Khruschev (
Uni Soviet),
John Fitzgerald Kennedy (
Amerika Serikat),
Fidel Castro (
Kuba),
Mao Tse Tung (
RRC).
Kejatuhan
Situasi
politik Indonesia menjadi tidak menentu setelah enam
jenderal dibunuh dalam peristiwa yang dikenal dengan sebutan
Gerakan 30 September atau G30S pada
1965.
[17][9] Pelaku sesungguhnya dari peristiwa tersebut masih merupakan kontroversi walaupun PKI dituduh terlibat di dalamnya.
[9] Kemudian massa dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) melakukan aksi demonstrasi dan menyampaikan
Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang salah satu isinya meminta agar PKI dibubarkan.
[17] Namun, Soekarno menolak untuk membubarkan PKI karena bertentangan dengan pandangan
Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme).
[5][17] Sikap Soekarno yang menolak membuabarkan PKI kemudian melemahkan posisinya dalam politik.
[9][5]
Lima bulan kemudian, dikeluarkanlah
Surat Perintah Sebelas Maret yang ditandatangani oleh Soekarno.
[17] Isi dari surat tersebut merupakan perintah kepada
Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang perlu guna menjaga keamanan pemerintahan dan keselamatan pribadi presiden.
[17] Surat tersebut lalu digunakan oleh
Soeharto yang telah diangkat menjadi
Panglima Angkatan Darat untuk membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang.
[17] Kemudian MPRS pun mengeluarkan dua Ketetapannya, yaitu TAP No. IX/1966 tentang pengukuhan Supersemar menjadi TAP MPRS dan TAP No. XV/1966 yang memberikan jaminan kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar untuk setiap saat menjadi presiden apabila presiden berhalangan.
[18]
Soekarno kemudian membawakan pidato pertanggungjawaban mengenai sikapnya terhadap peristiwa G30S pada Sidang Umum ke-IV
MPRS.
[17] Pidato tersebut berjudul "
Nawaksara" dan dibacakan pada
22 Juni 1966.
[5] MPRS kemudian meminta Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut.
[17] Pidato "Pelengkap Nawaskara" pun disampaikan oleh Soekarno pada
10 Januari 1967 namun kemudian ditolak oleh MPRS pada
16 Februari tahun yang sama.
[17]
Hingga akhirnya pada
20 Februari 1967 Soekarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di
Istana Merdeka.
[18] Dengan ditandatanganinya surat tersebut maka Soeharto
de facto menjadi kepala pemerintahan Indonesia.
[18] Setelah melakukan Sidang Istimewa maka MPRS pun mencabut kekuasaan Presiden Soekarno, mencabut gelar Pemimpin Besar Revolusi dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI hingga diselenggarakan
pemilihan umum berikutnya.
[18]
Sakit hingga meninggal
Kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan
Agustus 1965.
[18] Sebelumnya, ia telah dinyatakan mengidap gangguan
ginjal dan pernah menjalani perawatan di
Wina,
Austria tahun
1961 dan
1964.
[18] Prof. Dr. K. Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar ginjal kiri Soekarno diangkat tetapi ia menolaknya dan lebih memilih pengobatan tradisional.
[18] Ia masih bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya meninggal pada hari Minggu,
21 Juni 1970 di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat)
Gatot Subroto,
Jakarta dengan status sebagai tahanan politik.
[18][4] Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki oleh
Ratna Sari Dewi.
[18] Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter
Mahar Mardjono yang merupakan anggota tim dokter kepresidenan.
[18] Tidak lama kemudian dikeluarkanlah komunike medis yang ditandatangani oleh Ketua Prof. Dr. Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor Jenderal Dr. (TNI AD)
Rubiono Kertopati.
[18]
Komunike medis tersebut menyatakan hal sebagai berikut:
[18]
- Pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan kesehatan Ir. Soekarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
- Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Ir. Soekarno dalam keadaan tidak sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir. Soekarno meninggal dunia.
- Tim dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis Ir. Soekarno hingga saat meninggalnya.
Walaupun Soekarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di
Istana Batu Tulis,
Bogor, namun pemerintahan Presiden
Soeharto memilih Kota
Blitar, Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman Soekarno.
[18] Hal tersebut ditetapkan lewat Keppres RI No. 44 tahun
1970.
[18] Jenazah Soekarno dibawa ke Blitar sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya bersebelahan dengan makam ibunya.
[18] Upacara pemakaman Soekarno dipimpin oleh Panglima ABRI Jenderal M. Panggabean sebagai inspektur upacara.
[18] Pemerintah kemudian menetapkan masa berkabung selama tujuh hari.
[18]
Peninggalan
Dalam rangka memperingati 100 tahun kelahiran Soekarno pada
6 Juni 2001, maka Kantor
Filateli Jakarta menerbitkan
perangko "100 Tahun Bung Karno".
[8] Perangko yang diterbitkan merupakan empat buah perangko berlatarbelakang bendera
Merah Putih serta menampilkan gambar diri Soekarno dari muda hingga ketika menjadi Presiden Republik Indonesia.
[8] Perangko pertama memiliki nilai nominal Rp500 dan menampilkan potret Soekarno pada saat sekolah menengah. Yang kedua bernilai Rp800 dan gambar Soekarno ketika masih di perguruan tinggi tahun
1920an terpampang di atasnya. Sementara itu, perangko yang ketiga memiliki nominal Rp. 900 serta menunjukkan foto Soekarno saat proklamasi kemerdekaan RI. Perangko yang terakhir memiliki gambar Soekarno ketika menjadi Presiden dan bernominal Rp. 1000. Keempat perangko tersebut dirancang oleh Heri Purnomo dan dicetak sebanyak 2,5 juta set oleh Perum Peruri.
[8] Selain perangko, Divisi Filateli PT Pos Indonesia menerbitkan juga lima macam kemasan perangko, album koleksi perangko, empat jenis kartu pos, dua macam poster Bung Karno serta tiga desain kaus Bung Karno.
[8]
Perangko yang menampilkan Soekarno juga diterbitkan oleh Pemerintah
Kuba pada tanggal
19 Juni 2008. Perangko tersebut menampilkan gambar Soekarno dan presiden Kuba
Fidel Castro.
[19] Penerbitan itu bersamaan dengan ulang tahun ke-80 Fidel Castro dan peringatan kunjungan
Presiden Indonesia, Soekarno, ke
Kuba.
Nama Soekarno pernah diabadikan sebagai nama sebuah gelanggang olahraga pada tahun
1958. Bangunan tersebut, yaitu
Gelanggang Olahraga Bung Karno, didirikan sebagai sarana keperluan penyelenggaraan
Asian Games IV tahun
1962 di
Jakarta. Pada masa
Orde Baru, komplek olahraga ini diubah namanya menjadi
Gelora Senayan. Tapi sesuai keputusan Presiden
Abdurrahman Wahid, Gelora Senayan kembali pada nama awalnya yaitu
Gelanggang Olahraga Bung Karno. Hal ini dilakukan dalam rangka mengenang jasa Bung Karno.
[20]
Setelah kematiannya, beberapa
yayasan dibuat atas nama Soekarno. Dua di antaranya adalah Yayasan Pendidikan Soekarno dan Yayasan Bung Karno. Yayasan Pendidikan Soekarno adalah organisasi yang mencetuskan ide untuk membangun
universitas dengan pemahaman yang diajarkan Bung Karno. Yayasan ini dipimpin oleh
Rachmawati Soekarnoputri, anak ketiga Soekarno dan
Fatmawati. Pada tahun 25 Juni 1999
Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie meresmikan
Universitas Bung Karno yang secara resmi meneruskan pemikiran Bung Karno,
Nation and Character Building kepada mahasiswa-mahasiswanya.
[21]
Sementara itu, Yayasan Bung Karno memiliki tujuan untuk mengumpulkan dan melestarikan benda-benda
seni maupun non-seni kepunyaan Soekarno yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
[22] Yayasan tersebut didirikan pada tanggal
1 Juni 1978 oleh delapan putra-putri Soekarno yaitu
Guntur Soekarnoputra,
Megawati Soekarnoputri,
Rachmawati Soekarnoputri,
Sukmawati Soekarnoputri,
Guruh Soekarnoputra,
Taufan Soekarnoputra,
Bayu Soekarnoputra dan
Kartika Sari Dewi Soekarno.
[22] Di tahun
2003, Yayasan Bung Karno membuka stan di Arena
Pekan Raya Jakarta.
[8] Di stan tersebut ditampilkan video pidato Soekarno berjudul "Indonesia Menggugat" yang disampaikan di Gedung Landraad tahun 1930 serta foto-foto semasa Soekarno menjadi presiden.
[8] Selain memperlihatkan video dan foto, berbagai cinderamata Soekarno dijual di stan tersebut.
[8] Diantaranya adalah kaus, jam
emas, koin emas,
CD berisi pidato Soekarno serta kartu pos Soekarno.
[8]
Seseorang yang bernama Soenuso Goroyo Sukarno mengaku memiliki harta benda warisan Soekarno.
[8] Soenuso mengaku merupakan mantan sersan dari
Batalyon Artileri Pertahanan Udara Sedang.
[8] Ia pernah menunjukkan benda-benda yang dianggapnya sebagai warisan Soekarno itu kepada sejumlah wartawan di rumahnya di
Cileungsi,
Bogor.
[8] Benda-benda tersebut antara lain adalah sebuah lempengan emas kuning murni 24 karat yang terdaftar dalam register emas JM
London, emas putih dengan cap tapal kuda JM Mathey London serta plakat
logam berwarna kuning dengan tulisan ejaan lama berupa
deposito hibah.
[8] Selain itu terdapat pula uang UBCN (
Brasil) dan
Yugoslavia serta sertifikat deposito
obligasi garansi di
Bank Swiss dan Bank Netherland.
[8] Meskipun emas yang ditunjukkan oleh Soenuso bersertifikat namun belum ada pakar yang memastikan keaslian dari emas tersebut.
[23]
Penghargaan
Semasa hidupnya, Soekarno mendapatkan gelar
Doktor Honoris Causa dari 26
universitas di dalam dan luar negeri.
[24] Perguruan tinggi dalam negeri yang memberikan gelar kehormatan kepada Soekarno antara lain adalah
Universitas Gajah Mada,
Universitas Indonesia,
Institut Teknologi Bandung,
Universitas Padjadjaran,
Universitas Hasanuddin dan
Institut Agama Islam Negeri Jakarta.
[24] Sementara itu,
Columbia University (
Amerika Serikat),
Berlin University (
Jerman),
Lomonosov University (
Rusia) dan
Al-Azhar University (
Mesir) merupakan beberapa universitas luar negeri yang menganugerahi Soekarno dengan gelar Doktor Honoris Causa.
[24]
Pada bulan
April 2005, Soekarno yang sudah meninggal selama 104 tahun mendapatkan penghargaan dari Presiden
Afrika Selatan Thabo Mbeki.
[8] Penghargaan tersebut adalah penghargaan bintang kelas satu
The Order of the Supreme Companions of OR Tambo yang diberikan dalam bentuk
medali, pin, tongkat, dan lencana yang semuanya dilapisi emas.
[8] Soekarno mendapatkan penghargaan tersebut karena dinilai telah mengembangkan solidaritas internasional demi melawan penindasan oleh negara maju serta telah menjadi inspirasi bagi rakyat Afrika Selatan dalam melawan
penjajahan dan membebaskan diri dari
apartheid.
[8] Acara penyerahan penghargaan tersebut dilaksanakan di Kantor Kepresidenan Union Buildings di
Pretoria dan dihadiri oleh Megawati Soekarnoputri yang mewakili ayahnya dalam menerima penghargaan.
Dr.(H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta (populer sebagai
Bung Hatta, lahir di
Fort de Kock (kini
Bukittinggi),
Sumatera Barat,
12 Agustus 1902 – meninggal di
Jakarta,
14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah pejuang, negarawan, dan juga
Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun
1956, karena berselisih dengan Presiden
Soekarno. Hatta dikenal sebagai Bapak
Koperasi Indonesia. Bandar udara internasional Jakarta menggunakan namanya sebagai penghormatan terhadap jasanya sebagai salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia.
Nama yang diberikan oleh orangtuanya ketika dilahirkan adalah
Muhammad Athar. Anak perempuannya bernama
Meutia Hatta menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dalam
Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono. Ia dimakamkan di
Tanah Kusir,
Jakarta.
Latar belakang dan pendidikan
Hatta lahir dari keluarga ulama
Minangkabau,
Sumatera Barat. Ia menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu Fort de Kock dan pada tahun
1913-
1916 melanjutkan studinya ke
Europeesche Lagere School (
ELS) di
Padang. Saat usia 13 tahun, sebenarnya ia telah lulus ujian masuk ke
HBS (setingkat SMA) di
Batavia (kini Jakarta), namun ibunya menginginkan Hatta agar tetap di Padang dahulu, mengingat usianya yang masih muda. Akhirnya Bung Hatta melanjutkan studi ke
MULO di Padang. Baru pada tahun
1919 ia pergi ke Batavia untuk studi di Sekolah Tinggi Dagang "Prins Hendrik School". Ia menyelesaikan studinya dengan hasil sangat baik, dan pada tahun 1921, Bung Hatta pergi ke
Rotterdam,
Belanda untuk belajar ilmu perdagangan/bisnis di Nederland Handelshogeschool (bahasa inggris: Rotterdam School of Commerce, kini menjadi
Universitas Erasmus). Di Belanda, ia kemudian tinggal selama 11 tahun.
Pada tangal
27 November 1956, Bung Hatta memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu
Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum dari
Universitas Gadjah Mada di
Yogyakarta. Pidato pengukuhannya berjudul "Lampau dan Datang".
Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karier sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara
Jong Sumatranen Bond Cabang Padang. Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah
Abdul Moeis. Di Batavia, ia juga aktif di Jong Sumatranen Bond Pusat sebagai Bendahara. Ketika di Belanda ia bergabung dalam Perhimpunan Hindia (
Indische Vereeniging). Saat itu, telah berkembang iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh
Indische Partij (
Suwardi Suryaningrat,
Ernest Douwes Dekker, dan
Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai orang buangan akibat tulisan-tulisan tajam anti-pemerintah mereka di
media massa.
Perjuangan
Saat berusia
15 tahun,
Hatta merintis karier sebagai aktivis
organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang. Di kota ini
Hatta mulai menimbun
pengetahuan perihal perkembangan
masyarakat dan
politik, salah satunya lewat membaca berbagai
koran, bukan saja koran terbitan Padang tetapi juga
Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran
Tjokroaminoto dalam
surat kabar Utusan Hindia, dan
Agus Salim dalam Neratja.
Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. "Aku kagum melihat cara Abdul Moeis berpidato, aku asyik mendengarkan suaranya yang merdu setengah parau, terpesona oleh ayun katanya. Sampai saat itu aku belum pernah mendengarkan pidato yang begitu hebat menarik perhatian dan membakar semangat," aku Hatta dalam Memoir-nya. Itulah Abdul Moeis:
pengarang roman Salah Asuhan; aktivis partai
Sarekat Islam; anggota
Volksraad; dan pegiat dalam
majalah Hindia Sarekat, koran Kaoem Moeda, Neratja, Hindia Baroe, serta Utusan
Melayu dan Peroebahan.
Pada usia
17 tahun,
Hatta lulus dari
sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas ia bertolak ke Batavia untuk melanjutkan studi di
Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Di sini, Hatta mulai aktif
menulis. Karangannya dimuat dalam majalah Jong Sumatera, "Namaku Hindania!" begitulah judulnya. Berkisah perihal janda cantik dan kaya yang terbujuk
kawin lagi. Setelah ditinggal mati suaminya,
Brahmana dari
Hindustan, datanglah
musafir dari
Barat bernama Wolandia, yang kemudian meminangnya. "Tapi Wolandia terlalu
miskin sehingga lebih mencintai hartaku daripada diriku dan menyia-nyiakan anak-anakku," rutuk Hatta lewat Hindania.
Pemuda Hatta makin tajam pemikirannya karena diasah dengan beragam bacaan,
pengalaman sebagai Bendahara JSB Pusat, perbincangan dengan tokoh-tokoh pergerakan asal Minangkabau yang mukim di Batavia, serta
diskusi dengan temannya sesama anggota JSB:
Bahder Djohan. Saban
Sabtu, ia dan Bahder Djohan punya kebiasaan keliling kota. Selama berkeliling kota, mereka bertukar pikiran tentang berbagai hal mengenai
tanah air. Pokok soal yang kerap pula mereka perbincangkan ialah perihal memajukan
bahasa Melayu. Untuk itu, menurut Bahder Djohan perlu diadakan suatu majalah. Majalah dalam rencana Bahder Djohan itupun sudah ia beri nama Malaya. Antara mereka berdua sempat ada pembagian
pekerjaan. Bahder Djohan akan mengutamakan perhatiannya pada persiapan redaksi majalah, sedangkan Hatta pada soal
organisasi dan pembiayaan penerbitan. Namun, “Karena berbagai hal cita-cita kami itu tak dapat diteruskan,” kenang Hatta lagi dalam Memoir-nya.
Selama menjabat Bendahara JSB Pusat, Hatta menjalin kerjasama dengan
percetakan surat kabar Neratja. Hubungan itu terus berlanjut meski Hatta berada di
Rotterdam, ia dipercaya sebagai koresponden. Suatu ketika pada medio
tahun 1922, terjadi peristiwa yang mengemparkan
Eropa,
Turki yang dipandang sebagai
kerajaan yang sedang runtuh memukul mundur
tentara Yunani yang dijagokan oleh
Inggris. Rentetan peristiwa itu Hatta pantau lalu ia tulis menjadi serial tulisan untuk Neratja di Batavia. Serial tulisan Hatta itu menyedot perhatian khalayak pembaca, bahkan banyak surat kabar di
tanah air yang mengutip tulisan-tulisan Hatta.
Perangko Satu Abad Bung Hatta diterbitkan oleh PT Pos Indonesia tahun 2002
Hatta mulai menetap di Belanda semenjak September 1921. Ia segera bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah tersedia iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai eksterniran akibat kritik mereka lewat tulisan di koran De Expres. Kondisi itu tercipta, tak lepas karena Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) menginisiasi penerbitan majalah Hindia Poetra oleh Indische Vereeniging mulai 1916. Hindia Poetra bersemboyan “Ma’moerlah Tanah Hindia! Kekallah Anak-Rakjatnya!” berisi informasi bagi para pelajar asal tanah air perihal kondisi di Nusantara, tak ketinggalan pula tersisip kritik terhadap sikap kolonial Belanda.
Di Indische Vereeniging, pergerakan putra Minangkabau ini tak lagi tersekat oleh ikatan kedaerahan. Sebab Indische Vereeniging berisi aktivis dari beragam latar belakang asal daerah. Lagipula, nama Indische –meski masih bermasalah– sudah mencerminkan kesatuan wilayah, yakni gugusan kepulauan di Nusantara yang secara politis diikat oleh sistem kolonialisme belanda. Dari sanalah mereka semua berasal.
Hatta mengawali karier pergerakannya di Indische Vereeniging pada 1922, lagi-lagi, sebagai Bendahara. Penunjukkan itu berlangsung pada 19 Februari 1922, ketika terjadi pergantian pengurus Indische Vereeniging. Ketua lama dr. Soetomo diganti oleh Hermen Kartawisastra. Momentum suksesi kala itu punya arti penting bagi mereka di masa mendatang, sebab ketika itulah mereka memutuskan untuk mengganti nama Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging dan kelanjutannya mengganti nama Nederland Indie menjadi Indonesia. Sebuah pilihan nama bangsa yang sarat bermuatan politik. Dalam forum itu pula, salah seorang anggota Indonesische Vereeniging mengatakan bahwa dari sekarang kita mulai membangun Indonesia dan meniadakan Hindia atau Nederland Indie.
Pada tahun
1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda, dan di sinilah ia bersahabat dengan nasionalis India,
Jawaharlal Nehru. Aktivitasnya dalam organisasi ini menyebabkan Hatta ditangkap pemerintah Belanda. Hatta akhirnya dibebaskan, setelah melakukan pidato pembelaannya yang terkenal:
Indonesia Free.
Pada tahun
1932 Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi
Club Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan meningkatkan kesadaran politik rakyat Indonesia melalui proses pelatihan-pelatihan. Belanda kembali menangkap Hatta, bersama
Soetan Sjahrir, ketua
Club Pendidikan Nasional Indonesia pada bulan Februari
1934. Hatta diasingkan ke
Digul dan kemudian ke
Banda selama 6 tahun.
Pada tahun
1945, Hatta secara aklamasi diangkat sebagai wakil presiden pertama RI, bersama
Bung Karno yang menjadi presiden RI sehari setelah ia dan bung karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena peran tersebut maka keduanya disebut Bapak Proklamator Indonesia.
Kehidupan pribadi
Tanggal 18 November 1945 bertempat di
Megamendung, Bogor,
Jawa Barat. Mohammad Hatta mempersunting seorang gadis yang bernama Rahmi Rachim. dari pernikahan tersebut mereka dikaruniai tiga orang anak.
Bung Hatta sebagai tokoh organisasi dan partai politik
Bung Hatta adalah nama salah seorang dari beribu pahlawan yang pernah memperjuangkan kemerdekaan dan kemajuan Indonesia. Sosok Bung Hatta telah menjadi begitu dekat dengan hati rakyat Indonesia karena perjuangan dan sifatnya yang begitu merakyat. Besarnya peran beliau dalam perjuangan negeri ini sehingga ai disebut sebagai salah seorang bapak bangsa Indonesia.
Berbagai tulisan dan kisah perjuangan Muhammad Hatta telah ditulis dan dibukukan, mulai dari masa kecil, remaja, dewasa dan perjuangan beliau untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Namun ada hal yang rasanya perlu sedikit digali dan dipahami yaitu melihat Bung Hatta sebagai tokoh organisasi dan partai politik, hal ini dikaitkan dengan usaha melihat perkembangan kegiatan politik dan ketokohan politik di dunia politik Indonesia sekarang maka pantas rasanya kita ikut melihat perjuangan dan perjalanan kegiatan politik Bung Hatta.
Setelah perang dunia I berakhir generasi muda Indonesia yang berprestasi makin banyak yang mendapat kesempatan mengenyam pendidikan luar negeri seperti di Belanda, Kairo (Mesir). Hal ini diperkuat dengan diberlakukannya politik balas budi oleh Belanda. Bung Hatta adalah salah seorang pemuda yang beruntung, beliau mendapat kesempatan belajar di Belanda. Kalau kita memperhatikan semangat berorganisasi Bung Hatta, sebenarnya telah tumbuh sewaktu beliau berada di Indonesia. Beliau pernah menjadi ketua Jong Sematera (1918-1921) dan semangat ini makin membara dengan asahan dari kultur pendidikan Belanda/Eropa yang bernafas demokrasi dan keterbukaan.
Keinginan dan semangat berorganisasi Bung Hatta makin terlihat sewaktu beliau mulai aktif di kelompok Indonesische Vereeniging yang merupakan perkumpulan pemuda-pemuda Indonesia yang memikirkan dan berusaha memajukan Indonesia, bahkan dalam organisasi ini dinyatakan bahwa tujuan mereka adalah : “ kemerdekaan bagi Indonesia “. Dalam organisasi yang keras dan anti penjajahan ini Bung Hatta makin “tahan banting” karena banyaknya rintangan dan hambatan yang mereka hadapi.
Walau mendapat tekanan, organisasi Indonesische Vereeniging tetap berkembang bahkan Januari 1925 organisasi ini dinyatakan sebagai sebuah organisasi politik yang kemudian dinamai Perhimpunan Indonesia (PI). Dan dalam organisasi ini Bung Hatta bertindak sebagai Pemimpinnya.
Keterlibatan Bung Hatta dalam organisasi dan partai poltik bukan hanya di luar negeri tapi sekembalinya dari Belanda beliau juga aktif di PNI (Partai Nasional Indonesia) yang didirikan Soekarno tahun 1927. Dalam organisasi PNI, Bung Hatta menitik beratkan kegiatannya dibidang pendidikan. Beliau melihat bahwa melalui pendidikanlah rakyat akan mampu mencapai kemerdekaan. Karena PNI dinilai sebagai partai yang radikal dan membahayakan bagi kedudukan Belanda, maka banyak tekanan dan upaya untuk mengurangi pengaruhnya pada rakyat. Hal ini dilihat dari propaganda dan profokasi PNI tehadap penduduk untuk mengusakan kemerdekaan. Hingga akhirnya Bunga Karno di tangkap dan demi keamanan organisasi ini membubarkan diri.
Tak lama setetah PNI (Partai Nasional Indonesia) bubar, berdirilah organisasi pengganti yang dinamanakan Partindo (Partai Indonesia). Mereka memiliki sifat organisasi yang radikal dan nyata-nyata menentang Belanda. Hal ini tak di senangi oleh Bung Hatta. Karena tak sependapat dengan Partindo beliau mendirikan PNI Pendidikan (Partai Nasional Indonesia Pendidikan) atau disebut juga PNI Baru. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta bulan Agustus 1932, dan Bung Hatta diangkat sebagai pemimpin. Organisasi ini memperhatikan “ kemajuan pendidikan bagi rakyat Indonesia, menyiapkan dan menganjurkan rakyat dalam bidang kebatinan dan mengorganisasikannya sehingga bisa dijadakan suatu aksi rakyat dengan landasan demokrasi untuk kemerdekaan “.
Organisasi ini berkembang dengan pesat, bayangkan pada kongres I di Bandung 1932 anggotanya baru 2000 orang dan setahun kemudian telah memiliki 65 cabang di Indonesia. Organisasi ini mendapat pengikut dari penduduk desa yang ingin mendapat dan mengenyam pendidikan. Di PNI Pendidikan Bung Hatta bekerjasama dengan Syahrir yang merupakan teman akrabnya sejak di Belanda. Hal ini makin memajukan organisasi ini di dunia pendidikan Indonesia waktu itu. Kemajuan, kegiatan dan aksi dari PNI Pendidikan dilihat Belanda sebagai ancaman baru tehadap kedudukan mereka sebagai penjajah di Indonesia dan mereka pun mengeluarkan beberapa ketetapan ditahun 1933 di antaranya:
- Polisi diperintahkan bertindak keras terhadap rapat-rapat PNI Pendidikan.
- 27 Juni 1933, pegawai negeri dilarang menjadi anggota PNI Pendidikan.
- 1 Agustus 1933, diadakan pelarangan rapat-rapat PNI Pendidikan di seluruh Indonesia.
Akhirnya ditahun 1934 Partai Nasional Indonesia Pendidikan dinyatakan Pemerintahan Kolonial Belanda di bubarkan dan dilarang keras bersama beberapa organisasi lain yang dianggap membahayakan seperti : Partindo dan PSII. Ide-ide PNI Pendidikan yang dituangkan dalam surat kabar ikut di hancurkan dan surat kabar yang menerbitkan ikut di bredel. Namun secara keorganisasian, Hatta sebagai pemimpin tak mau menyatakan organisasinya telah bubar. Ia tetap aktif dan berjuang untuk kemajuan pendidikan Indonesia.
Soekarno yang aktif di Partindo dibuang ke Flores diikuti dengan pengasingan Hatta dan Syahrir. Walau para pemimpin di asingkan namun para pengikut mereka tetap konsisten melanjutkan perjuangan partai. PNI Pendidikan tetap memberikan kursus-kursus, pelatihan-pelatuhan baik melalui tulisan maupun dengan kunjungan kerumah-rumah penduduk.
Dalam sidang masalah PNI Pendidikan M.Hatta, Syahrir, Maskun, Burhanuddin ,Bondan dan Murwoto dinyatakan bersalah dan dibuang ke Boven Digul (Papua). Demi harapan terciptanya ketenangan di daerah jajahan. Walau telah mendapat hambatan yang begitu besar namun perjuangan Hatta tak hanya sampai disitu, beliau terus berjuang dan salah satu hasil perjuangan Hatta dan para pahlawan lain tersebut adalah kemerdekaan yang telah kita raih dan kita rasakan sekarang.
Sebagai tulisan singkat mengenai sejarah ketokohan Muhammad Hatta di organisasi dan partai politik yang pernah beliau geluti, kita haruslah dapat mengambil pelajaran dari hal ini. Karena sejarah tak berarti apa-apa bila kita tak mampu mengambil manfaat dan nilai-nilai positif didalamnya. Dari kehidupan Hatta di dunia politik kita bisa melihat bahwa : Munculnya seorang tokoh penting dan memiliki jiwa patriot yang tangguh dan memikirkan kehidupan orang banyak serta memajukan bangsa dan negara “bukan hanya muncul dalam satu malam” atau bukanlah tokoh kambuhan yang muncul begitu saja, dan bukanlah sosok yang mengambil kesempatan untuk tampil sebagai pahlawan dan sosok pemerhati masyarakat. Tapi tokoh yang dapat kita jadikan contoh dan panutan dalam organisasi, partai, dan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesunguhnya adalah seorang sosok yang lahir dan tumbuh dalam lingkungan masyarakat, ia terlatih untuk mampu memahami keinginan dan cita-cita masyarakat, serta bertindak dengan menggunakan ilmu dan iman.
Seiring dengan meruaknya wacana demokrasi, terutama di era reformasi kita bisa melihat bahwa di Indonesia berkembang berbagai partai baru yang jumlahnya telah puluhan. Dalam kenyataanya memunculkan nama-nama baru sebagai tokoh, elit partai, elit politik yang berpengaruh di berbagai partai tersebut. Ada juga tokoh politik yang merupakan wajah-wajah lama yang konsisten di partainya atau beralih membentuk partai baru. Apakah mereka sudah pantas dikatakan sebagai tokoh, elite politik / elite partai?. Sebagai salah satu sosok tokoh ideal, dengan mencontoh ketokohan Bung Hatta kita harus mampu melihat berapa persen di antara tokoh-tokoh, orang-orang penting, elite politik / elite partai di Indonesia sekarang yang telah memperhatikan kehidupan masyarakat, berapa persen di antara mereka yang sudah melakukan usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat Indonesia baik di bidang ekonomi, pendidikan, politik dan lain-lain.
Dalam kenyataannya, kebanyakan kita melihat tokoh politik, elite politik dan tokoh-tokoh partai di Indonesia dewasa ini kurang memperhatikan kehidupan dan kemajuan masyarakat. Mereka hanya mengambil simpati masyarakat disaat-saat mereka membutuhkan suara dan partisipasi penduduk, seperti saat-saat akan diadakannnya pemilihan umum (nasional), saat diadakannya pemilihan kepala daerah (Pilkada), setelah kegiatan itu berlangsung mereka mulai meninggalkan dan melupakan masyarakat. Namun ada beberapa partai dan tokoh yang sering terlihat dalam berbagai kegiatan social dan memperhatikan masyarakat.
Apakah kita masih menganggap bahwa seorang penjahat, pemaling (koruptor) yang lolos dari sergapan hukum sebagai tokoh panutan kita di organisasi, partai politik, pemerintahan, atau kehidupan sehari-hari?. Jadi pantaslah kita belajar dari ketokohan Muhammad Hatta dalam kehidupan politiknya yang selalu bertindak demi kesejahteraan dan kemajuan rakyat Indonesia.
Syafruddin Prawiranegara
Mr. Syafruddin Prawiranegara, atau juga ditulis
Sjafruddin Prawiranegara (lahir di
Serang,
Banten,
28 Februari 1911 – meninggal di
Jakarta,
15 Februari 1989 pada umur 77 tahun) adalah pejuang pada masa kemerdekaan
Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai
Presiden/Ketua
PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia di
Yogyakarta jatuh ke tangan
Belanda saat
Agresi Militer Belanda II pada tanggal
19 Desember 1948.
Masa muda dan pendidikan
Tokoh yang lahir di Anyar Kidul yang memiliki nama kecil "Kuding" ini memiliki darah keturunan
Banten dan
Minangkabau. Buyutnya, Sutan Alam Intan, masih keturunan raja
Pagaruyung di
Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat
Perang Padri. Ia menikah dengan putri bangsawan Banten, melahirkan kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama
R. Arsyad Prawiraatmadja. Ayah Syafruddin bekerja sebagai
jaksa, namun cukup dekat dengan rakyat, dan karenanya dibuang oleh
Belanda ke
Jawa Timur.
Syafruddin menempuh pendidikan
ELS pada tahun
1925, dilanjutkan ke
MULO di
Madiun pada tahun
1928, dan
AMS di
Bandung pada tahun
1931. Pendidikan tingginya diambilnya di
Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di
Jakarta (sekarang Fakultas Hukum
Universitas Indonesia) pada tahun
1939, dan berhasil meraih gelar
Meester in de Rechten (saat ini setara dengan
Magister Hukum).
Pra-kemerdekaan
Sebelum kemerdekaan, Syafruddin pernah bekerja sebagai pegawai siaran radio swasta (
1939-
1940), petugas pada Departemen Keuangan Belanda (
1940-
1942), serta pegawai Departemen Keuangan
Jepang.
Setelah kemerdekaan Indonesia, ia menjadi anggota Badan Pekerja
KNIP (
1945), yang bertugas sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR. KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Pemerintah Darurat RI
Syafruddin adalah orang yang ditugaskan oleh Soekarno dan Hatta untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI), ketika Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden
Mohammad Hatta ditangkap pada Agresi Militer II, kemudian diasingkan oleh Belanda ke
Pulau Bangka, 1948. Syafruddin menjadi Ketua Pemerintah Darurat RI pada
1948.
Atas usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda, dan akhirnya Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta. Pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta.
Jabatan pemerintahan
Syafrudin Prawiranegara pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Keuangan, dan Menteri Kemakmuran. Ia menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan pada tahun
1946, Menteri Keuangan yang pertama kali pada tahun
1946 dan Menteri Kemakmuran pada tahun
1947. Pada saat menjabat sebagai Menteri Kemakmuran inilah terjadi Agresi Militer II dan menyebabkan terbentuknya PDRI.
Seusai menyerahkan kembali kekuasaan Pemerintah Darurat RI, ia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri RI pada tahun
1949, kemudian sebagai Menteri Keuangan antara tahun
1949-
1950. Selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet
Hatta, pada bulan Maret 1950 ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan
Gunting Syafruddin.
Syafruddin kemudian menjabat sebagai Gubernur Bank Sentral Indonesia yang pertama, pada tahun 1951. Sebelumnya ia adalah Presiden Direktur Javasche Bank yang terakhir, yang kemudian diubah menjadi Bank Sentral Indonesia.
Keterlibatan dalam PRRI
Pada awal tahun
1958,
PRRI berdiri akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah karena ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi dan pengaruh
komunis (terutama
PKI) yang semakin menguat. Syafruddin diangkat sebagai Presiden PRRI yang berbasis di Sumatera Tengah.
Pada bulan Agustus 1958, perlawanan PRRI dinyatakan berakhir dan pemerintah pusat di Jakarta berhasil menguasai kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya bergabung dengan PRRI. Keputusan Presiden RI No.449/1961 kemudian menetapkan pemberian amnesti dan abolisi bagi orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan, termasuk PRRI.
Politik
Pimpinan Masyumi (
1960)
Masa tua
Syafrudin Prawiranegara memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa tuanya. Namun berkali-kali bekas tokoh
Partai Masyumi ini dilarang naik mimbar. Pada bulan Juni 1985, ia diperiksa sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya
Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A'raf,
Tanjung Priok, Jakarta. Dalam aktivitas keagamaannya, ia pernah menjabat sebagai Ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI). Kegiatan-kegiatannya yang berkaitan dengan pendidikan, keislaman, dan dakwah, antar lain:
- Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan & Pembinaan Manajemen (PPM), kini dikenal dengan nama PPM Manajemen(1958)
- Anggota Pengurus Yayasan Al Azhar/Yayasan Pesantren Islam (1978)
- Ketua Korps Mubalig Indonesia (1984-??)
Ia juga sempat menyusun buku
Sejarah Moneter, dengan bantuan
Oei Beng To, direktur utama Lembaga Keuangan Indonesia.
Syafruddin Prawiranegara meninggal di Jakarta, pada tanggal 15 Februari 1989, pada umur 77 tahun.
Keluarga
Syafruddin menikah dengan Tengku Halimah Syehabuddin.
[1] Mereka memiliki delapan orang anak, dan sekitar lima belas cucu. Cucunya ketiga belas lahir di
Australia sebagai
bayi tabung pertama keluarga Indonesia,
1981.
Referensi
Sumber
Pranala luar